Selasa, 12 November 2013

Mpu Kuturan Di Balik Desa Pekraman dan Penganut Agama Ciwa-Budha di Bali

Mpu Kuturan Di Balik Desa Pekraman dan Penganut Agama Ciwa-Budha di Bali


OM Swastiastu,

Dari beberapa sumber sejarah dapat disimpulkan betapa eratnya hubungan pulau Bali dan Jawa terutama Jawa Timur. Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur bertambah erat dengan dilangsungkannya pernikahan agung antara Sri Udayana Warmadewa dari Bali dengan Sri Mahendradatta adik perempun raja daha Sri Dhamawangsa Ananta Teguh putri raja Sri Makutawangsawardana, cicit dari Sri Maharaja Paradewasikan Kamaswara Dharmawangsa, dimana setelah upahcara dwijati atau diksa (inisiasi) bernama Empu Sendok. Upacara agung itu dilaksanakan pada tahun 988 M, dimana kemudian keduanya dinobatkan menjadi raja suami istri di Bali dengan gelar Sri Gunapriya Dharmapatni/Dharmodayana Warmadewa.

Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi perubahan besar-besaran di Bali. Perubahan ini hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan di Bali. Singkat kata perubahan ini menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Zaman itu dapat dikatakan sebagai zaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari situasi perselisihan dan pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan. Adanya konflik ini diakibatkan oleh adanya perbedaan keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Aga.

Pada saat itu penduduk di Bali menganut sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Rakyat tidak menentang Raja, dan tidak ada pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal ini disebabkan karena masing-masing paksa/keyakinan pada masa itu menempuh jalannya sendiri-sendiri, sehingga raja sulit mengendalikan rakyatnya karena banyaknya visi dan misi pada tataran pemikiran rakyatnya. Akibat dari perbedaan dan keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang berlarut-larut dan jika dibiarkan akan sangat mengganggu stabilitas kerajaan, dan pulau Bali pada umumnya. Hal ini tidak dapat diatasi oleh Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain :

1. Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M, beliau pemeluk agama Siwa dan beliau menjalani Sukla Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
2. Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham Ghanapatya dan beliau menjalani Sukla Brahmacari.
3. Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M, beliau pemeluk Agama Budha, aliran Mahayana. Beliau menjalani Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu istri).
4. Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham Brahmaisme dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani Swala Brahmacari.

Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :

1. Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
2. Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan akar permasalahan yang terjadi di kerajaan adalah masalah keyakinan yang berbeda satu sama lain dan saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat.

Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan yang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan dan pemimpin Pesamuhan Agung tersebut juga sebagai wakil penganut Budha.
2. Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing paksa/keyakinan yang terdiri dari berbagai sampradaya, dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
3. Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa, dimana mereka merupakan kelompok tersendiri.

Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan – perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang yang menyangkut 5 pokok permasalahan yaitu;

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu.
2. Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:

(a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam semesta.

(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya

(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina.

Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.

1. Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
2. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
3. Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut agama Siva – Budha.

OM Shanti, Shanti, Shanti OM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar