Sejarah, Konsep dan Filosofi Sanggah Pemrajan
Pada status di Hindu Bali kemarin, Hindu Bali mengadakan sebuah diskusi kecil yang cukup banyak mengundang semeton di Hindu Bali untuk ikut memberikan dialog atau pendapat yang membahas topik "Bolehkah kita sembahyang di sanggah pemrajan orang lain yang berbeda soroh/wangsa/garis keturunan leluhur? ada semeton yang bilang tidak boleh karena berbeda leluhur, dan itu tidak etis.. ada juga semeton yang berpendapat itu sah-sah saja karena Tuhan seyogyanya adalah Maha Tunggal, dan orang bijak menyebutNYA dengan banyak nama..
Dibawah ini Hindu Bali mencoba mencarikan sumber yang terkait dengan konsep Sanggah Pemrajan itu sendiri yang akan menjelaskan bagaimana sebenarnya filosofi serta konsepnya seperti apa dari sanggah pemrajan itu sendiri..
Dilihat dari sejarahnya, konsep sanggah pemrajan yang ada sekarang tidak lepas dari jasa para leluhur kita dahulu yang mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu konsep dari Mpu Kuturan yang mengadakan pesamuhan di Bataanyar (sekarang Gianyar) yang sekarang tempat pesamuhan tersebut berdiri dengan megah Pura Samuhan Tiga, serta konsep dari Dang Hyang Niratha, penjelasan mengenai kedua konsep tersebut akan dijelaskan di bawah ini..
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan, artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek: Sanggah atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.
Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:
- Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasar (Cerita Mpu Kuturan di balik tercetusnya konsep ini bisa di baca di postingan terdahulu }
- Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
- Kombinasi keduanya. Biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Tripurusha adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, di mana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Yang mana yang baik/ tepat ? Tergantung dari keyakinan kita masing-masing. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana.
Karena perkembangan jaman sekarang ini, kita masyarakat Hindu Bali menggunakan kedua konsep dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.
Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3:
- Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
- Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’/ garis keturunan)
- Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)
- SP Alit: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
- SP Dadia: Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata
- SP Panti: SP Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Pada beberapa SP sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di SP-nya.
Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja:
1. Padmasana/ Padmasari: Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
2. Kemulan Rong Tiga: Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru.
Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata).
3. Sapta Petala: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis: patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai simbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4. Taksu: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
5. Limascari & Limascatu: Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari: pradana – purusha, rwa bhineda.
6. Pangrurah: Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
7. Manjangan Saluwang: Pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
8. Raja-Dewata: Pelinggih roh para leluhur (di bawah Bhatara Kawitan).
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kita sebenarnya boleh sembahyang di Sanggah Pemrajan dimana saja, namun karena secara sekala setiap sanggah pemrajan itu di empon/diurus oleh keluarga yang ada dirumah tersebut, jika kita hendak sembahyang di sanggah pemrajan di rumah orang lain atau di Griya para sulinggih, hendaknya sudah sepengetahuan yang mengempon sanggah pemrajan tersebut karena menyangkut masalah etika.
OM Shanti, Shanti, Shanti OM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar