Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana secara detail
Mengingat
rekan-rekan sedharma di Bali dan di luar Bali banyak yang membangun
tempat sembahyang atau Pura dengan pelinggih utama berupa Padmasana,
perlu kiranya kita mempelajari seluk beluk Padmasana agar tujuan
membangun simbol atau “Niyasa” sebagai objek konsentrasi memuja Hyang
Widhi dapat tercapai dengan baik.
ARTI PADMASANA
Padmasana
atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang
dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di
Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus
Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh
Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit
Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga
teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah
posisi duduk dalam yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut
Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh
Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit
CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma”
artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap
duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti
tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (
I Made Titib,
2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol
dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana
tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Dalam Lontar “
Padma Bhuana“,
Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai
(padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya.
Dalam Lontar “
Dasa Nama Bunga” disebut, bunga
teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam —
akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan
bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri
Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang
berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin
alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana
adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas,
sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini
tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian
puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi
empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen
pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di
puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).
Isi pedagingan
pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat
dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk
kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak,
benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma
dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama
Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.
Simbol
dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah
dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga
(Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya
(padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka).
Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di
dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang
dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya
namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya
duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga
teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut
Asta-Aiswarya.
Asta-Aiswarya
ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma
adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya
lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara.
Hal-hal
ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa,
yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.
Dengan
demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang
Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana
sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih
sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang
Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
- Helai daun bunganya
berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah
delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa)
sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina)
sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima)
sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara)
sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
- Puncak
mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang
Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/
dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
- Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Bunga
teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan
juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
SEJARAH PADMASANA
Menurut
Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan
oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha
atau Danghyang Nirartha.
Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di
pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di
Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali
perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.
Sebelum kedatangan
beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana
penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara
horizontal.Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali
sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang
Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu
Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah.
Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong.
Wahyu
yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali
menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa
yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep
horizontal maupun vertikal.
Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa
sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan
yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad
ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa.
Sejak abad ke-14 pada rezim
Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni
tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan
Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga
cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada
pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan
seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari.
Maksudnya niyasa
pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk
Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah
niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.
Inilah
yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah
menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali
untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap
mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.
STANA – STANA DI PADMASANA
Stana Sanghyang Siwa Raditya.
Dalam
lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid
terdiri dari para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan
bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya; oleh karena itu
Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan
berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.
Stana Bhatara Guru.
Sebagai
rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang
diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal
juga sebagai Bhatara Guru.
Stana Bhatara Surya.
Bhatara
Siwa acintiya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara
Siwa, lihatlah matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh
asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia bersumber dari kekuatan
energi matahari.
Stana Sanghyang Tri Purusa.
Dalam
Wrhaspati Tattwa, Sangyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu:
Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi
dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak
berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta.
Sadha-Siwa,
adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara,
dan pelebur. Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak
berwujud sebagai mahluk hidup.
Fungsi utama Padmasana adalah
sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja
dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala
aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang
Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam
manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya)
dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu
sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana
berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa
(kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa
tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan
Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi
yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang
mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu
sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat
ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau
penyawangan.
HIASAN PADMASANA
Di bagian dasar Padmasana
BHEDAWANGNALA,
yaitu
ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga.Kura-kura
adalah simbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan
naga adalah simbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam
semesta.Lontar Kaurawasrama menyebutkan, dasar gunung Mahameru adalah
bedawangnala. Dalam bahasa Kawi, bedawangnala terdiri dari dua kata:
beda artinya ruang, dan nala artinya api. Jadi bedawangnala artinya
ruang yang berisi api atau magma.Lontar Agni Purana (Kurma Awatara)
menyebutkan adanya perang yang sengit antara para Dewa dengan para
Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa dikalahkan. Para Dewa mohon agar Wisnu
menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta kedua pihak yang
berperang mengaduk lautan susu di mana gunung Mandara sebagai tangkai
pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali pengaduk.Para Dewa memegang ekor
naga dan para Detya memegang kepala naga. Tetapi ketika perputaran
dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar tenggelam ke dalam
lautan susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kura-kura
raksasa kemudian muncul untuk menyelamatkan gunung Mandara.Bhedawangnala
adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih;
“wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi
bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya
api.Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi,
dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan hidup.Karena
letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol bhedawangnala dapat
bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga,
dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi
yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.Oleh karena itu bedawang di
Bali dilukiskan sebagai kura-kura yang moncongnya menyemburkan api.
NAGA
Lontar
Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah bumi
diciptakan oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala
isinya maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana
tumbuh-tumbuhan mati, air menyurut dan udara mengandung
penyakit.Sanghyang Trimurti bermaksud menyelamatkan manusia. Brahma
berwujud sebagai Naga Anantabhoga yang berwarna merah berada di dalam
inti bumi; Wisnu berwujud sebagai Naga Basuki yang berwarna hitam berada
dalam laut, dan Iswara berwujud sebagai Naga Taksaka yang berwarna
putih bersayap berada di udara.Agar bumi ini tidak gonjang-ganjing maka
diikat oleh dua ekor naga yakni: naga basuki dan naga
anantaboga.Saptapetala disimbolkan dengan kura-kura, sehingga
terbentuklah patung kura-kura yang dililit dua naga di dasar padmasana,
yang disebut ‘bedawang-nala’ (beda = ruang-ruang; wang = yang ada; nala =
api = inti bumi atau ‘ratala’).Naga basuki dan anantaboga adalah simbol
kemakmuran dan kesejahteraan.Jadi makna padmasana yang berdasar
bedawang nala adalah: keajegan bumi sebagai tempat kehidupan, atas
karunia Sanghyang Widhi yang berwujud: Parama siwa, Sada siwa dan Siwa.
Padma = teratai; sana = sikap duduk.Jadi padmasana adalah tempat/
kedudukan suci Sanghyang Widhi yang melindungi bumi/ kehidupan kita.
Di bagian tengah Padmasana
GARUDA WISNU
diletakkan
di bagian tengah belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi
sebagai pemelihara.Simbol garuda-wisnu adalah simbol garuda (putra Sang
Winata) yang membawa tirta amerta kamandalu, anugerah dari wisnu. Itu
berarti juga sebagai simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur
panjang bagi penyungsung garuda-wisnu.Di lontar Adi Parwa diceritakan
sebagai berikut: Sang Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari
Bhagawan Kasyapa, Sang Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya dan
Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang Garuda. Pada suatu ketika
keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang keluar dari pemuteran
gunung Mandaragiri.Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam,
sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh
mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa
siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang menang.Para naga putra Sang
Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk memenangkan ibunya para
naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam. Sang
Winata kalah lalu menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang Winata, yakni
Garuda, ingin membebaskan ibunya dari perbudakan.Garuda kemudian
bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya. Sang Naga
memberi tahu agar ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda mencari tirta
itu ke Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak
berhasil.Bhatara Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan
Tirta Amertha, namun dengan syarat agar Garuda mau menjadi kendaraan
Bhatara Wisnu. Garuda bersedia, dan bersama Wisnu terbang mencari Tirta
Amertha.
ANGSA
Angsa
diletakkan di bagian atas belakang, adalah simbol Sanghyang Saraswati.
Hiasan Angsa, sebagai kendaraan Bhatari Saraswati,bermakna sebagai:
pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.Angsa
adalah simbul ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian,
ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk
toh lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan
memilih yang baik, di samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik
siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur.Di lontar Indik
Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah simbul
Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya
yang bulat lukisan windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas
adalah simbul nada.
Di bagian Atas (sari) Padmasana
ACINTYA
Pada
bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang
terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya
terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang
Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang
Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut
dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.Acintya diletakkan
di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang tidak dapat
dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.
Sehingga kekuasaan-Nya’ sungguh mutlak dan luar biasa.Acintiya artinya
tidak dapat dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh
manusia telanjang dengan api di setiap sendinya serta kaki kanan yang
terangkat, kepala tanpa bentuk wajah, dan sikap tangan dewa
pratistha.Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari
ciptaan Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol
energi kehidupan; kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam
dan kehidupan yang aktif; kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari
keberadaan yang tidak dapat dibayangkan; sikap tangan dewa pratistha
adalah simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasil-hasil ciptaan-Nya.
HIASAN LAINNYA
Hiasan
lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang
paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam
semesta.Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk Padmasana adalah:
Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia
sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan,
senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.Kesimpulan: kelak bila ada
dana, baik sekali membangun padmasana, walaupun sudah ada sapta petala,
karena simbol-simbol seperti: garuda, angsa, acintya, tidak ada di
padmasari.
BENTUK-BENTUK PADMASANA
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:
- Padma Anglayang,
memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga
ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya
atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
- Padma Agung,
memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua
ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/
kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya:
lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
- Padmasana,
memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang.
Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau
Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang
Widhi Yang Maha Esa
- Padmasari, tidak memakai
dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang.
Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang
Tripurusa
- Padma capah, tidak memakai dasar
bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan
untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa
lautan)
Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan
menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan / penyawangan. Mengenai
pedagingan kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja.
Sedangkan padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan
pada Dasar, Madya, dan Puncak.
Pemilihan bentuk kelima jenis
Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan
upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya.
Oleh
karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak
penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di
atas.
LETAK PADMASANA
Berdasarkan
lokasi (menurut pengider- ider) terbagi menjadi 9 jenis berdasarkan
lontar Wariga Catur Wisana sari, Letak Padmasana menurut arah mata angin
(pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
- Padma Kencana, timur (purwa)
- Padmasana, selatan (daksina)
- Padmasari ,barat (pascima)
- Padma Lingga, utara (uttara)
- Padma Asta Sedhana, tenggara (agneya)
- Padma Noja, barat daya (nairity)
- Padma Karo ,barat laut (wayabya)
- Padma Saji ,timur laut (airsanya)
- Padma Kurung, tengah-tengah Pura (madya)
Pemilihan
letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu –
teben”.Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak
masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai
Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya:
Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.
Sebaliknya
di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di
mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma
lingga.
Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian
seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah
pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit
memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu – teben seperti di Bali,
maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik
di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.
MEMILIH LOKASI PADMASANA
Bila
ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya yang
permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan rekan
sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi yang
tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar Keputusan
Sanghyang Anala, yang ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh
Bhagawan Wiswakarma.Selain untuk membangun Padmasana, aturan ini juga
dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan
perumahan.Pilihlah lokasi yang baik dan hindari sedapat mungkin lokasi
yang tidak menguntungkan seperti pelemahan hala dan karang
kebaya-baya.Apabila keadaan memaksa, lakukan usaha-usaha pangupahayu
agar terhindar dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh kekurang
sempurnaan keadaan lokasi.
PEMBAGIAN HALAMAN PADMASANA
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga, yaitu:
- Utama Mandala
- Madya Mandala
- Nista Mandala
Ketiga
Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan
tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang
persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala
adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala
adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah
bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan
nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama
mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama. Di madya mandala dibangun
sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci),
bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan
(untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih Lebuh yaitu
stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan
lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista
mandala dengan madya mandala adalah Candi Bentar dan batas antara madya
mandala dengan utama mandala adalah Gelung Kori, sedangkan nista mandala
tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI
Yang
dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa
(simbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih
(tingkatan) dan hiasan.Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan
tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar
pelinggih.
Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh
Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai
Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab:
Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
Tujuan Asta Bumi
Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang WidhiMendapat vibrasi kesucianMenguatkan bhakti kepada Hyang Widhi
Luas Halamana.
Memanjang
dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah:Panjang dalam satuan depa
(bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/ klian/ Jro
Mangku atau orang suci lainnya): 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14, 15,
19.Lebar dalam ukuran depa: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 14,
15.Alternatif total luas dalam depa: 2×1, 3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7,
12×11, 14×12, 15×14, 19×15.b. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran
yang baik adalah:Panjang dalam ukuran depa: 4, 5, 6, 13, 18.Lebar dalam
ukuran depa: 5, 6, 13.Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6,
18×13Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana
kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan
kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5
kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali.Misalnya untuk halaman yang memanjang
dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3 x
(19×15), 5 x (19×15), 7 x (19×15), 9x(19×15), 11x(19×15).Untuk yang
memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam
kelipatan adalah: 3x(18×13), 5x(18×13), 7x(18×13), 9x(18×13), 11 x
(18×13).
HULU – TEBEN
Filsafat
hulu – teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi,
kemudian “menganggap” Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang
mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan gambar simbol
Acintya.Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki
sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa
tatanan kehidupan “skala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata), misalnya
dalam aturan-aturan membangun Pura.Adanya bagian yang sangat sakral
disebut sebagai “utama mandala”, bagian yang kurang sakral disebut
sebagai “madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai
“nista mandala”.Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu
dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai
teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit.Matahari
dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk,
sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan
yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang
merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.“
Hulu” artinya arah yang utama, sedangkan “
teben”
artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah
diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu, yaitu:Arah Timur,
dan Arah “Kaja”Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan
menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara
menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu,
artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang
tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja
sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan
kompas.Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar
di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut
atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat
sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih
dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN PADMASANA
Bentuk
halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi
sebagaimana diuraikan terdahulu.Jangan membuat halaman pura tidak
persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan – kiri
berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga,
lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan
pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor,
dan Asta kosala.
PEMEDAL PADMASANA
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut:
- Ukur lebar halaman dengan tali.
- Panjang tali itu dibagi tiga.
- Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah “as” pemedal
- Dari
as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa,
tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung
kori.
Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini
adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman
pemedal.Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam
menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka
tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar
dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai
dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH
Sesuai
dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain
dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak
nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang.Pengertian “depa” sudah
dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari
tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan “telung
tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan
dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam
posisi melintang.Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang
yang dituakan dalam kelompok “penyungsung” (pemuja) Pura.Jarak antar
pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak,
tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang
tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke
pelinggih-pelinggih.Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu
konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan
jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini
juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH YANG DIBANGUN
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga:
- pelinggih
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang
memberikan manusia kemampuan belajar/ mengajar sehingga memiliki
pengetahuan, dan
- PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala
yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan
kehidupannya di dunia.
Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah:
- PIYASAN
yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari
piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
- BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja.
Di Madya Mandala dibangun:
- BALE GONG, tempat gambelan
- BALE
PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten
sebelum masuk ke Utama Mandala.BALE KULKUL yaitu tempat kulkul
(kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara
akan dimulai atau sudah
- selesai.
Jika ingin
membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
“turut” 3, 5, 7, 9, dan 11. “Turut” artinya “berjumlah”.
Turut 3:Padmasari,
Kemulan Rong Tiga dan TaksuKemulan Rong tiga adalah Hyang Guru atau
Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa. Jenis turut ini digunakan oleh tiap
keluarga di rumahnya masing-masing
Turut 5Padmasari,
Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah dan Baturan PengayenganBaturan
Pengayengan yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7Padmasari,
Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih
Limas Cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah)Yang dimaksud
dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah simbolisme Hyang
Widhi dalam manifestasi yang menciptakan “Rua Bineda” atau dua hal yang
selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma
dan adharma, dll.
Turut 9Padmasari, Kemulan Rong
Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih Limas Cari
(Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah), Pelinggih Sapta Petala dan
Manjangan SaluwangPelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi
sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain
dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha
Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali.
Turut 11Padmasari,
Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, Baturan Pengayengan, Pelinggih
Limas Cari (Gunung Agung), Limas Catu (Gunung Lebah), Pelinggih Sapta
Petala, Manjangan Saluwang, Gedong Kawitan dan Gedong IbuGedong Kawitan
adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan
yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari
pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih
itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di
hulu adalah Padmasari/ Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben
adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di
atas.Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka
letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben
kiri dan keteben kanan.
UPACARA NGENTEG LINGGIH
Setelah
bangunan selesai dalam bentuk Padmasana atau berbentuk Sanggah
Pamerajan dan Pura, maka dilaksanakan upacara Ngenteg Linggih. Dalam
Bahasa Bali “Ngenteg” artinya mengukuhkan, dan “Linggih” artinya
kedudukan. Jadi Ngenteg Linggih dalam arti luas adalah upacara
mensucikan dan mensakralkan Niyasa tempat memuja Hyang Widhi.Yang akan
diuraikan di bawah ini adalah upacara Ngenteg Linggih menurut versi
tradisi beragama Hindu di Bali berdasarkan Lontar-lontar:
- Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya,
- Tutur Kuturan,
- Gong Besi, dan
- Sanghyang Aji Swamandala.
Mungkin
saja ada rangkaian upacara dalam bentuk lain menurut versi atau tradisi
setempat untuk Niyasa-Niyasa tertentu, seperti di Jawa, Kalimantan,
Sumatra, dll. boleh saja namun tujuannya tetap sama yaitu mensucikan dan
mensakralkan Niyasa.
MEMANGGUH.
Tahap
awal adalah upacara Memangguh. Asal katanya: “kepangguh” atau
“kepanggih” artinya menemukan. Keyakinan tentang kekuasaan Hyang Widhi
sebagai sang pencipta bahwa seluruh jagat raya adalah milik-Nya.
Sebidang tanah yang dijadikan Pura ditemukan oleh manusia secara “Skala”
(nyata) dan “Niskala” (tidak nyata, artinya berkat penugrahan Hyang
Widhi). Memangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan bidang
tanah secara niskala.
MEMIRAK.Berasal
dari kata “pirak” artinya membeli. Kaitannya juga secara niskala, yang
bermakna mohon ijin kepada Hyang Widhi untuk menggunakan bidang tanah
dimaksud.
NYENGKER.Berasal dari kata
“sengker” artinya batas. Jadi upacara nyengker adalah memberi
batas-batas luas tanah, baik secara skala dengan cara membangun pagar
keliling, maupun secara niskala dengan menaburkan tepung beras putih
kesekeliling batas tanah.
MECARU.Berasal
dari kata “caru” artinya korban suci untuk menuju keseimbangan dan
keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan dalam arti luas adalah TRI
HITA KARANA (Tri = tiga, hita = kebaikan, karana = sebab; Jadi
Trihitakarana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan). Keseimbangan
dan keharmonisan yang bersentral pada manusia, yaitu:
- Bhakti manusia kepada Hyang Widhi dan sebaliknya kasih sayang Widhi kepada manusia, ini biasa disebut sebagai PARHYANGAN.
- Hubungan
antar manusia yang baik dengan inti kasih sayang, biasa disebut sebagai
PAWONGAN.Kecintaan manusia pada alam dengan memelihara kelestarian,
biasa disebut sebagai PALEMAHAN.
Mecaru dalam rangkaian
upacara Ngenteg Linggih tujuannya adalah mohon kepada Hyang Widhi agar
di area Pura dapat terwujud Trihitakarana
TATA CARA MEMBANGUN PADMASANA
- Upacara/ upakara yang sederhana (untuk Padmasari)
- Nasarin (peletakan batu pertama.
- Ngeruwak sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung Tahun 1987.Penggalian”. lubang untuk dasar.
- Penyucian lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha.
- Persembahyangan
dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi stawa. Bunga atau
kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang sebagian dasar.
- Peletakan dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung tahun 1988.
- Melaspas.
- Upakara-
upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar Dewa
Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.
Atau bisa dengan urutan sebagai berikut:
- Memangguh dengan guling bebek, banten pejati. Maknanya: mohon ijin menggunakan tanah pekarangan
- Memirak:
guling bebek itu direcah-recah dibuatkan 5 tanding, lalu di haturkan di
atas tanah pekarangan pada 5 penjuru: timur, selatan, barat, utara,
tengah.
- Mecaru: ayam brunbun, dengan urip 33
- Ngeruak, mulang batu dasar, mlaspas (bila sudah selesai bangunannya)
- Mendak Ida Bhatara, distanakan di sebuah daksina lingga
- Ngaturang ayaban/ banten
- Muspa
Upacara dan upakara yang lebih lengkap (untuk Padmasana)
Saat mulai membangun.Caru pengeruak, yaitu caru ayam berumbun lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya asanca-desa, yaitu:
- Di timur: 5 tanding
- Di selatan: 9 tanding
- Di barat: 7 tanding
- Di utara: 4 tanding
- Di tengah: 8 tanding.
Beralaskan
sengkwi bersayap; segehan agung, kawisan, kulitnya dan lain-lain di
tempatkan di tengah. Byakala , Durmangala, dan Prayascita masing-masing
satu. Segehan agung lengkap dengan penyambleh.
Banten Pemakuhan:
yang terdiri dari peras penyeneng, ajuman putih kuning dagingnya ayam
betutu, me-ukem-ukem (di sembeleh dari punggung), daksina yang berisi
uang 225, canang lengewangi-buratwangi, canang raka, nyahnyah gula
kelapa dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah sanggar di hulu
bangunan.
Banten untuk dasar bangbang:
adalah
tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buhan, lauk-pauk
dengan dagingnya ayam biying yang dipanggang, sampian tangga. Banten ini
dialasi kulit peras.
Canang Pendeman:
adalah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan, dan pesucian, masing-masing satu tanding.
Alat penyugjug
terdiri dari sebuah tangkai dapdap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cicin bermata mirah dan sebuah keris.
Sebuah
bata merah bergambar
bedawangnala di mana punggungnya bertulis aksara “Ang” . Sebuah bata
merah lain bergambar padma bertulis dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na,
ma, si, wa, ya. Sebuah batu bulitan bertulis tri aksara: ang, ung, mang.
Sebuah
klungah nyuh gading bertulis
ong-kara. Kelungah dikasturi airnya dibuang lalu ke dalamnya dimasukkan
sebuah kwangen berkulit keraras, berisi uang kepeng 33 buah, bertulis
ongkara-amertha.
Semua banten di atas setelah diupacarai dan
disembahyangi, dimasukkan ke dalam lobang dasar bangunan; selanjutnya
batu-batu dan adonan semen dapat dicor di atas banten-banten itu.
Setelah bangunan selesai
Upacara Pemakuhan:
Sebagai
ungkapan terima kasih kepada Bhagawan Wisma Karma (Dewa seni-bangunan)
diwujudkan dengan mohon tirta pemakuh. Peralatan tukang disertakan dalam
upacara ini.Banten Pemakuhan, peras, lis, soroan, daksina, canang lenga
wangi, canang burat wangi dan ketipat kelanan. Caru ayam putih asoroh
eteh-eteh pemakuhan asoroh: bagia, orti, sapsap, ulap-ulap, paso anyar
berisi air, daun lalang 11 katih, pengurip-urip darah ayam putih, susur
pekeramas, toya cendana, kumkuman, rantasan, seperadeg, semeti, pahat,
uang, andel-andel berisi benang. Toya pemakuhan dari undagi yang membuat
sikut.
Urutan upacara:
- Ngetok sunduk, mantra: Bhatara semara, angadegang Bhatara Ratih metemuang ageni mastu astu Ang Ah.
- Ngetok
lait, mantra: Ingsun anangun sawen anging I Dewa Gunung Agung magelung
aningkahang anangun sawen, ana ring maca pada rambat rangkung panjang
umur, jeng, jeng, jeng.
- Pangurip getih ayam putih, mantra:
Mangke sira patini sepisan ngurip kita satuwuk bebataran pinaka bungkah
nda. Sendi pinaka pancer nda. Adegan pinaka punyan nda. Abah-abah pinaka
pangpang nda. Raab pinaka ron nda. Kelasa pinaka kembang nda. Daging
nda, pinaka woh nda, urip kita jati. Paripurna urip-urip
- Penyapsap gidat sesaka, mantra: Pakulun manusan nira anggada kaken sapuha, menyapuha ganda keringetning wewangunan sidhi rastu.
- Semeti, mantra: Om Upi Sangagawenku teka pada urip, teka pada urip, teka pada urip.
- Baas Daksina, mantra: Om Siwa sampurna yang namah.
- Tatebus, mantra: Jaya Ang Ang Ang Ah
Upacara Melaspas:
Upacara
Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista
Dewata, menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala adalah
bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista
Dewata.Pelaksanaan:
- Menghaturkan upakara pesaksian ke Surya, dan nunas tirtha pelukatan.
- Nyapsap
dengan daun dapdap, lalang, dan toya segara. Matatorek dengan warna
merah, putih, hitam, memercikkan tirtha pelukatan, memercikkan tirta
pasupati, dan memukul bangunan tanda menguatkan pasak.
Sulinggih memuja banten pemelaspas.
Upacara Ngenteg Linggih.
Urutan upacara:
1. Memangguh
Kata
memangguh berasal dari bahasa Bali: kepangguh atau kepanggih, yang
artinya menemukan. Maksudnya adalah menemukan sebidang tanah secara
niskala yang kemudian digunakan untuk bangunan Padmasana.Secara skala,
bidang tanah diperoleh atau ditemukan dengan membeli, hibah, warisan,
dll. Namun secara niskala bidang tanah itu dimohon kepada Sanghyang
Widhi, sebagai pemilik dan penguasa semesta.Banten upacara memangguh
pada umumnya berdasar banten bebangkit dengan runtutannya.
2. Nyengker
Nyengker
artinya memberi batas-batas bidang tanah di empat penjuru mata angin,
yaitu: utara, selatan, barat dan timur. Batas ini sebagai lanjutan
upacara memangguh, dengan pengertian skala dan niskala pula.Secara
skala, sengker atau batas berbentuk pagar halaman, dan secara niskala,
sengker adalah batas bidang tanah yang dimohonkan ke hadapan Sanghyang
Widhi. Pelaksanaan upacara nyengker diwujudkan dengan membubuhkan tepung
beras (putih) sekeliling pagar bidang tanah.Bantennya: prayascita,
pengulapan, pengambean.
3. Memirak
Memirak
dalam bahasa Bali berasal dari kata pirak, yang artinya membeli.
Memirak juga ditujukan secara niskala kepada Sanghyang Widhi, lebih
dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas ijin dan karunia-Nya karena
telah memberikan sebidang tanah.Selain itu dengan upacara memirak,
kepada Sanghyang Widhi juga mepiuning (memberitahu) tentang perubahan
status tanah, yang sebelumnya mungkin berupa sawah, tegalan, dll., dan
kini sudah menjadi sebuah halaman Pura.Banten upacara memirak, dasarnya
suci ageng dengan runtutannya, dan seekor babi guling sebagai
kelengkapannya. Sebagai stana Ida Bhatari Pertiwi, dibuat sebuah daksina
lingga yang setelah upacara selesai akan dihaturkan ke Pura
Subak.Setelah banten pemirak selesai dipuja oleh Sulinggih, maka
bagian-bagian babi guling yakni irisan: kuping, moncong, keempat kaki,
dan ekor, direcah menjadi 5, ditempatkan di 5 takir yang sudah berisi
nasi jakan. Kelima takir itu diletakkan dan dihaturkan ke pertiwi
masing-masing di batas bidang: utara, selatan, barat, dan timur.
4. Mecaru
Caru
dalam bahasa Bali artinya korban, sedangkan car dalam bahasa Sanskrit
artinya keseimbangan dan keharmonisan. Dengan demikian maka caru artinya
binatang yang dijadikan korban untuk memohon keseimbangan dan
keharmonisan.Yang dimaksud dengan keseimbangan dan keharmonisan adalah
Trihitakarana, yaitu tiga hal yang menjadi dasar kehidupan yang baik:
parhyangan, pawongan, dan palemahan.Parhyangan adalah hubungan yang
seimbang dan harmonis antara manusia dengan Sanghyang Widhi. Pawongan
adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan
manusia. Palemahan adalah hubungan yang seimbang dan harmonis antara
manusia dengan alam.Menurut ajaran agama Hindu-Bali, tanpa ketiga
keseimbangan dan keharmonisan itu manusia tidak akan menemukan
mokshartam jagaditha. Dalam kaitan ini, Padmasana sebagai stana
Sanghyang Widhi, bukanlah hanya niyasa pemujaan saja, tetapi juga untuk
memohon keutuhan Trihitakarana menuju mokshartam jagaditha.Banten caru
yang umumnya digunakan pada upacara ngenteg linggih Padmasana minimal
Rsigana berdasar Manca sanak.
5. Mendem akah-pedagingan
Mendem
artinya menanam. Akah-pedagingan terdiri dari panca-datu, yaitu: emas,
perak, tembaga, besi, dan permata. Kelima unsur (panca –datu) adalah
simbol isi bumi, yakni logam dan batu mulia yang diciptakan Sanghyang
Widhi pada awal terbentuknya bumi. Akah-pedagingan ditanam pada dasar,
dan tengah Padmasana.
6. Memasang orti dan ulap-ulap
Orti
adalah sejenis jejahitan berbahan daun rontal. Makna orti adalah
pemberitahuan bahwa bangunan Padmasana sudah disucikan. Ulap-ulap adalah
rerajahan pada secarik kain putih yang bermakna mensakralkan bangunan
pelinggih. Orti dipasang di puncak bangunan, dan ulap-ulap dipasang di
bawah orti.
7. Mendem bagia-palakerti
Bagia
artinya bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan). Isi
bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian
(pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah
belakang Padmasana bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada
Sanghyang Widhi, karena sang maduwe karya telah melaksanakan upacara
ngenteg linggih.
8. Memendak Ida Bhatara
Kata
Ida Bhatara artinya “Maha Kuasa yang menyayangi dan melindungi”.
Menstanakan Ida Bhatara di Padmasana, seperti yang diuraikan terdahulu,
berarti menstanakan Sanghyang Widhi di bangunan niyasa untuk dipuja.
Niyasa (simbol) yang digunakan sebagai pralingga dapat berbagai bentuk,
misalnya pretima, gopelan, dan ampilan.Yang umum digunakan adalah
ampilan, terdiri dari kotak, daksina lingga, dan runtutannya. Setelah
ampilan disucikan dan dipasupati, Ida Bhatara dimohonkan berstana di
ampilan itu.Prosesnya dengan muspa ngider bhuwana mulai menghadap ke
timur untuk memuja Ishwara, ke selatan untuk memuja Brahma, ke barat
untuk memuja Mahadewa, ke utara untuk memuja Wisnu, dan ke timur sekali
lagi untuk memuja Tripurusha.
9. Mekalahyas
Dengan
berpedoman pada lontar Yadnya Prakerti, diyakini bahwa wateking
bhuta-kala atau roh-roh liar selalu ingin mendapatkan tirtha amertha
dalam usahanya untuk meningkatkan kesucian.Oleh karena itu roh-roh liar
ini selalu bersembunyi di tempat-tempat suci dengan harapan bila ada
upacara maka mereka secara tidak disengaja akan memperoleh percikan
tirtha amertha dari puja-mantra Pandita.Demikian pula dengan kotak
ampilan yang dimohonkan sebagai stana Sanghyang Widhi, tidak luput dari
gangguan para roh liar ini. Agar hal itu tidak terjadi maka para roh
liar diberikan lelabaan agar tidak mengganggu jalannya upacara dan tidak
bersembunyi di niyasa kotak ampilan Ida Bhatara.Lelabaan itu disebut
banten kalahyas. Kalahyas terdiri dari dua kata: kala artinya roh liar;
hyas artinya menyenangkan. Jadi kalahyas artinya banten untuk
menyenangkan roh-roh liar.
10. Melasti
Melasti
dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: mala artinya kekotoran atau
noda; asti artinya dibuang. Jadi melasti yang asalnya mala-asti, artinya
menghanyutkan kekotoran.Upacara melasti dilakukan di laut, karena
kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran,
dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini
membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur
panjang.Yang dimaksud dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari
tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyukan oleh Sanghyang
Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,
Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga,
Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu.Oleh karena
kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan
pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di
dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara
sungai-sungai suci yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama
dengan laut di mana saja.Oleh karena itu jika melasti ke laut dianggap
sama dengan mendapatkan air dari ketujuh sungai suci itu.Karena tujuan
melasti seperti yang diuraikan di atas adalah untuk menghanyutkan
kekotoran dan mendapatkan tirtha suci, maka kegiatan melasti sering
disebut:ANGANYUTAKEN LARA-ROGA TUR SARWANING MALA, LAN AMET TIRTHA
AMERTHA KAMANDALU RING TELENGING SAMUDRAartinya menghanyutkan kekotoran
dan membuang segala keburukan, serta mendapatkan air suci di tengah
lautan.Hanya bila ke laut saja dapat disebut melasti, sedangkan bila ke
sumber mata air atau sungai, tidak disebut melasti, tetapi mesucian.
Tujuan dan faedahnya tentu berbeda.
11. Ngenteg linggih: Karya Pemungkah dan Pedudusan
Ngenteg
linggih artinya: mengokohkan kedudukan Ida Bhatara secara niskala di
Padmasana; Karya Pemungkah artinya: Memohon kesediaan Ida Bhatara
berstana di Padmasana; Pedudusan, yang berasal dari kata: pedius-diusan,
artinya pensucian.Prosesi upacara:Setelah niyasa Ida Bhatara datang
dari melasti, maka kotak ampilan diletakkan di sanggar tawang. Di sini
Ida Bhatara dihaturi banten catur dan dipuja-mantra oleh Pandita.Setelah
itu niyasa Ida Bhatara diturunkan dari sanggar tawang, melalui
titi-mahmah lalu diletakkan di Bale Peselang.Kemudian Ida Bhatara
dihaturi sesajen kemudian di puja-mantra oleh Pandita.Para peserta
upacara, bersembahyang memuja Sanghyang Widhi sebagai pencipta,
pemelihara, dan penyelamat dunia.Selanjutnya barulah niyasa Ida Bhatara
di letakkan di Bale Pahiasan, untuk dihaturi sesajen dan dipuja-mantra
oleh Pandita.Makna upacara:Meletakkan niyasa Ida Bhatara di sanggar
tawang dan dihaturi banten catur, bermakna niyasa itu mendapat
wara-nugraha dari Sanghyang Widhi sebagai Ishwara, Brahma, Mahadewa, dan
Wisnu.Meletakkan niyasa Ida Bhatara di bale peselang, bermakna
kehadiran Sanghyang Widhi di alam bwah-loka untuk menganugrahkan
kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan kepada manusia.Meletakkan niyasa
Ida Bhatara di Pahiasan, bermakna sebagai Sanghyang Widhi yang menerima
haturan, persembahan, dan pujaan dari manusia yang telah mendapatkan
sinar suci-Nya.
12. Pemuspaan
Pemuspaan
adalah sembahyang bersama, diawali dengan puja trisandya dan
dilanjutkan dengan kramaning sembah. Setelah itu tirtha wangsuh-pada dan
bija dibagikan oleh Jero Mangku. Ida Pandita mengisi waktu luang itu
dengan dharma-wacana.
13. Mesida-karya
Upacara
mesida-karya biasanya dilaksanakan di hari penyineban Ida Bhatara.
Didahului dengan menghaturkan banten banten sida-karya, lalu sembahyang
bersama, maka niyasa Ida Bhatara berupa kotak ampilan disimpan di tempat
yang baik dan aman, untuk digunakan lagi di hari piodalan Ida
Bhatara.Upacara ini bermakna sebagai permohonan dan piuning kehadapan
Sanghyang Widhi bahwa rangkaian upacara Ngenteg Linggih telah selesai,
serta memohon ampun bila dalam penyelenggaraan upacara ada
kekeliruan-kekeliruan.Sampai di sini selesailah semua prosesi sejak
membangun Padmasana sampai mengupacarainya, sehingga dengan demikian
Padmasana sudah dapat digunakan sebagai niyasa pemujaan Sanghyang Widhi
di setiap saat.
berikut Gambar Padmasana dan Ulap-Ulapnya :
Padmasari
Padmasana
Padma Agung
Padma Angelayang
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang penulis:
Budi Mahendra adalah salah satu Admin di Fans Page
Hindu Bali
yang juga praktisi spiritual serta murid di Ghanta Yoga, Yang
mengajarkan tehnik pembangkit dan memaksimalkan Potensi Mukjizat dalam
Diri (TAKSU).
Informasi mengenai Ghanta Yoga :
Http://www.ghantayoga.com/id/
Tulisan ini bisa juga di lihat di :
http://umaseh.com/padmasana/